Malam itu pekat benar, seolah-olah langit meneguk segala cahaya yang ada. Hujan baru reda, meninggalkan bau tanah basah yang menyesakkan dada. Jalan sunyi di pinggir pekan hanya diterangi lampu jalan tua yang berkelip-kelip seperti lilin nyawa yang menunggu padam.
Aku, Inspektor Rahman, duduk dalam kereta peronda, menatap sepi ke luar jendela sambil radio di dashboard berdesir meminta respon. “Kenderaan Delta Lima, respon lokasi 17… laporan gangguan di simpang lama. Seorang wanita dilihat meracau.”
Aku menarik nafas panjang. Lokasi itu membawa aku ke jalan sunyi menuju Tanah Perkuburan Cina tempat orang jarang lalu walau siang hari. Betapa malam terasa panjang sekali, sedangkan jarum jam baru melewati angka dua belas.
Aku memulas stereng, memandu perlahan menelusuri jalan berliku. Pohon-pohon tua di kiri kanan jalan bagai tunduk menanti sesuatu. Bila sampai di simpang, lampu depan kereta menangkap sosok seorang perempuan duduk mencangkung di tengah jalan. Rambutnya kusut panjang menutupi wajah, bajunya lusuh basah diseret hujan.
Hati kecilku berbisik perlahan, hidup ini kadang cuma pinjaman yang tak sempat kita bayar. Aku membuka pintu, melangkah keluar dengan langkah berhati-hati, tangan sudah hampir pada holster pistol.
“Cik… tolong bangun. Ini kawasan bahaya,” suaraku tenggelam dalam deru angin malam. Dia tak menyahut, tak juga bergerak. Hanya kepalanya perlahan-lahan mendongak. Dan dalam bias lampu, aku lihat matanya kosong, hitam, seperti lubang tak berpenghujung. Aku rasa dadaku bagai dihimpit batu besar. Mulutnya sedikit terbuka, mengeluarkan hembusan nafas panjang yang terdengar seperti keluhan sedih.
Tiba-tiba dia berdiri. Gerakannya aneh, seakan-akan sendinya longgar, kepalanya miring ke kanan, tangannya menggantung seperti tidak bertulang. Kakinya melangkah ke arahku perlahan-lahan, langkahnya menyeret. Aku undur, nafas mulai pendek, tangan menggenggam pistol walau belum sempat menarik keluar. “Jangan dekat… saya polis!” suaraku bergetar.
Dia berhenti. Bibir birunya merekah, menampakkan deretan gigi yang tak sempurna. Dari mulut itu lahir suara parau, dalam, suara lelaki tua, bukan suaranya. “Kau datang untuk bawa aku… atau untuk gantikan aku?” katanya dengan perlahan, tapi setiap patah perkataan terasa menampar cuping telingaku, meresap ke sumsum tulang.
Kabus tiba-tiba naik dari tanah, seperti asap hitam menari di kaki jalan. Ia membelit tayar kereta peronda, merangkak naik ke lampu siren yang masih berkelip biru merah. Namun cahaya itu tak lagi menyinari apa-apa, ditelan gelap pekat.
Perempuan itu menunduk, sebelum hilang perlahan-lahan ke dalam kabus, seakan-akan dicuri malam. Hanya tinggal bau hanyir yang entah datang dari mana. Aku berdiri termangu, kaki bagai dipaku ke tanah. Dalam kesunyian itu, terdengar suara jauh — bisikan yang entah datang dari celah mana, seperti mimpi yang tak sempat kita kejar, dia hilang meninggalkan sepi menggantung di dada.
Aku kembali ke kereta dengan langkah longlai, memandu perlahan menuju balai. Tapi di cermin tengah, sekejap-sekejap aku lihat bayang samar duduk di belakang. Diam, tak bergerak, hanya kelam gelap menatapku. Aku genggam stereng erat-erat, bibir membaca doa dalam hati yang terputus-putus.
Sejak malam itu, semakin banyak laporan orang awam tentang wanita meracau di simpang itu. Ada yang kata mereka nampak dia berdiri menunggu, rambutnya menutupi muka, dan ada yang kata dia memanggil nama mereka walau tak pernah bertemu.
Dalam tugas ini, kami dah biasa jumpa macam-macam kejahatan manusia. Tapi yang paling mengerikan ialah bila kami bertembung dengan dendam yang tak m**i, berkeliaran di jalan-jalan sunyi, menunggu siapa yang sudi singgah atau mungkin… siapa yang terlupa menutup pintu hati dari bisikan malam.
Hantar kisah anda : fiksyenshasha.com/submit