Rumah Usang di Pulau

Angin masin yang membawa aroma rumput laut dan sedikit bau tanah basah menyambut kedatangan kami di Pulau Keramat. Jauh dari hiruk pikuk kota, pulau kecil ini memang terkenal dengan keindahan pantainya yang masih perawan, namun juga diselimuti legenda-legenda mistis yang membuat penduduk desa enggan mendekati kawasan barat pulau.

Kami adalah sekumpulan empat sahabat Rizal, pemuda yang paling logis Maya, yang selalu membawa kamera dan semangat petualang Farid, si peragu yang mudah panik dan aku, Azlan, yang selalu tertarik pada cerita-cerita misteri. Tujuan kami adalah mendokumentasikan sebuah rumah usang yang terletak di tengah hutan bakau di sisi barat pulau itu.

Penduduk desa menyebutnya Rumah Tua Bangsawan. Konon, rumah kayu yang megah pada zamannya itu ditinggalkan secara tiba-tiba oleh pemiliknya, seorang bangsawan kaya, setelah serangkaian kejadian tragis menimpa keluarganya, termasuk hilangnya putri tunggal mereka yang cantik, Ratih.

Kami menyewa seorang pemandu lokal bernama Pak Long, yang enggan menemani kami hingga ke rumah itu, tetapi bersedia menunjukkan jalan setapak tersembunyi.

“Ingatlah, nak,” pesan Pak Long, suaranya serak, “Jangan masuk jika hari sudah mulai gelap. Penghuni di sana… mereka tidak suka tetamu yang berlama-lama.”

Kami hanya tersenyum tegang, menganggapnya sebagai takhayul biasa.

Perjalanan ke rumah itu memakan waktu hampir tiga jam melalui hutan bakau yang semakin lama semakin rapat dan gelap. Pohon-pohon tua dengan akar yang mencengkeram tanah seperti jari-jari raksasa menciptakan suasana mencekam. Bahkan di siang hari, sinar matahari sulit menembus kanopi dedaunan.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 4 petang, kami sampai.

Rumah itu berdiri tegak, namun menyedihkan. Dibangun dari kayu hitam yang kokoh, kini strukturnya sedikit miring, ditutupi lumut tebal dan sulur-sulur tanaman merambat yang menjalar seperti urat nadi. Jendela-jendelanya yang pecah seperti mata kosong yang menatap kami.

“Wow,” bisik Maya, kameranya langsung aktif. “Ini lebih angker dari yang aku bayangkan.”

Rizal mengambil alat pengukur elektromagnetik. “Ada lonjakan aneh di sini. Tapi mungkin hanya gangguan listrik tua.”

Farid tampak gelisah. “Aku rasa kita cukup ambil foto dari luar saja, lah? Aku tak sedap hati.”

Aku mendorong pintu depan yang sudah lapuk. Engselnya menjerit nyaring, memecah keheningan hutan.

Bau apak, debu, dan kayu tua langsung menyergap kami. Bagian dalam rumah itu gelap gulita, meski beberapa celah di dinding memancarkan sinar senja yang samar. Lantai kayu berderit di setiap langkah.

Ruang tamu dihiasi perabot tua yang tertutup kain putih seperti hantu-hantu bisu. Di tengah ruangan, terdapat sebuah piano besar yang debunya sangat tebal, seolah sudah ribuan tahun tidak disentuh.

Kami naik ke tingkat atas. Di sana terdapat beberapa kamar tidur. Kamar pertama kami masuki adalah kamar utama. Di dindingnya, tergantung potret keluarga yang sudah pudar. Wajah bangsawan itu tampak angkuh, istrinya muram, dan di tengah, wajah seorang gadis kecil berambut panjang, Ratih, terlihat cantik namun dengan sorot mata yang dingin.

Saat kami melihat potret itu, kami mendengar sesuatu.

Ting… ting…

Suara itu datang dari bawah, seperti dentingan kunci piano.

Jantung kami berdebar. Rizal segera menyalakan lampu suluhnya dan kami berempat perlahan menuruni tangga.

Ketika kami kembali ke ruang tamu, keheningan menyambut kami. Piano itu masih diselubungi debu tebal.

“Aku yakin aku dengar bunyinya,” kata Farid, suaranya bergetar.

“Angin,” jawab Rizal, mencoba rasional. “Atau mungkin tikus.”

Maya menggeleng. “Itu bukan tikus. Bunyinya terlalu jelas.”

Kami memutuskan untuk memeriksa bagian belakang rumah. Di sanalah kami menemukan kamar yang sepertinya merupakan kamar Ratih.

Kamar itu aneh. Sementara bagian rumah lain penuh debu, kamar ini tampak… terawat. Di atas meja rias, terdapat sebuah kotak musik yang terbuka. Dan di sudut ruangan, sebuah boneka porselin tua duduk di atas kursi kayu. Boneka itu mengenakan gaun putih compang-camping, rambutnya hitam panjang dan kusut, dan matanya terbuat dari kaca yang memantulkan cahaya lampu suluh kami dengan menyeramkan.

Ketika Maya mendekati boneka itu untuk memotretnya, tiba-tiba kotak musik di meja rias mulai berputar sendiri.

Sebuah melodi lembut dan melankolis mulai dimainkan.

Kluek… kluek… kluek…

Lagu itu adalah lagu anak-anak yang samar-samar kami kenali, namun dimainkan dengan tempo yang sangat lambat dan menyeramkan.

Rizal langsung bergegas ke kotak musik itu dan menutupnya dengan paksa. Musik terhenti.

“Kita harus pergi!” seruku, rasa takut yang tulus kini menjalar.

Namun, saat kami berbalik ke arah pintu, boneka porselin itu sudah tidak ada di kursi.

Hening. Hanya suara napas kami yang terengah-engah.

“Mana… mana bonekanya?” bisik Farid, matanya melebar.

Kemudian, kami semua mendengar tawa. Tawa anak kecil yang melengking, datang dari atas loteng.

Tawa itu disusul dengan suara dentuman keras, seperti ada sesuatu yang berat jatuh di lantai atas. Debu berjatuhan dari plafon kayu di atas kepala kami.

Kami bergegas menuju pintu depan, namun kunci pintu kayu yang kami buka tadi kini seperti tersangkut dan tidak dapat diputar.

“Tolong, tolong! Terbuka!” Rizal berteriak, mendorong pintu itu sekuat tenaga, tetapi sia-sia. Kami terkunci di dalam.

Malam telah tiba di luar. Cahaya senja yang tersisa kini digantikan oleh kegelapan pekat yang menakutkan.

“Kita harus cari jalan keluar lain,” kataku. “Jendela!”

Kami berlari ke ruang tamu. Saat kami melewati piano, kami melihatnya.

Di atas tuts piano yang sebelumnya tertutup debu, kini ada jejak jari-jari kecil. Tiga tuts hitam di tengah piano itu bersinar sedikit lebih bersih, seolah baru saja disentuh.

Tiba-tiba, sebuah suara parau dan berat bergema di ruangan itu, bukan tawa anak kecil lagi, tetapi bisikan yang datang dari segala arah:

“Jangan… ganggu… Ratih… bermain…”

Suara itu membuat lutut kami lemas.

Maya menyadari sesuatu. Dia menunjuk ke belakang kami, ke arah tangga.

Di ujung tangga, di kegelapan lantai atas, boneka porselin itu kini berdiri tegak. Matanya yang kosong tampak memancarkan kilau merah samar. Boneka itu perlahan mengangkat tangannya yang kecil.

Kami panik, memutuskan untuk naik ke lantai atas dan mencari jendela yang lebih besar atau pintu di sana. Kami berlari menaiki tangga yang berderit, menjauhi boneka yang kini mulai berjalan ke arah kami dengan langkah terseret-seret.

Di lantai atas, kami bergegas ke kamar Ratih, tempat kami meninggalkan tas kami. Aku membuka jendelanya, tetapi di luar, hutan bakau tampak seperti labirin yang tak berujung dalam gelap. Jendela itu juga terlalu kecil untuk kami lewati.

Saat itulah, Farid menjerit.

“Lihat! Di sana!”

Dia menunjuk ke sudut kamar. Di balik tirai jendela yang robek, samar-samar terlihat sebuah lemari kayu tua. Pintu lemari itu kini sedikit terbuka, dan dari celah sempit itu, kami melihat sepasang mata merah kecil mengintip keluar. Mata itu bukan mata boneka, melainkan mata asli.

Wajah gadis kecil di potret yang tergantung di bawah, Ratih, tampak di celah lemari itu. Wajahnya pucat, rambutnya panjang menutupi sebagian, dan bibirnya tertarik dalam senyum yang menyeramkan. Dia tidak lagi kecil; dia adalah sosok hantu yang terperangkap dalam penampilan masa kecilnya.

“Mari… bermain… mari… bermain…” suaranya seperti angin yang berdesir.

Di belakang kami, boneka porselin itu sudah sampai di pintu kamar.

Dalam keputusasaan, Rizal meraih patung kecil dari meja rias dan melemparkannya ke jendela yang pecah di kamar itu. Kaca yang tersisa hancur berkeping-keping.

“Keluar! Sekarang!” teriak Rizal.

Kami melompat, satu per satu, melalui jendela yang pecah. Kami mendarat di atas tumpukan daun kering dan lumpur di belakang rumah.

Begitu kami semua berada di luar, kami tidak menoleh ke belakang. Kami lari secepat yang kami bisa, menembus rimbunnya hutan bakau yang gelap. Jeritan kami bercampur dengan tawa melengking dari dalam rumah.

Ketika kami berhasil mencapai jalan setapak yang ditunjukkan Pak Long, kami berhenti. Nafas kami terengah-engah.

Kami selamat.

Kami tidak pernah kembali untuk mengambil barang-barang kami. Keesokan paginya, kami melapor kepada Pak Long bahwa kami telah kehilangan semua perlengkapan kami di hutan. Pak Long hanya mengangguk, sorot matanya penuh pengertian.

“Dia tak akan membiarkan kalian mengambil apa yang sudah jadi miliknya,” katanya pelan.

Kami meninggalkan Pulau Keramat dengan perasaan bersalah dan ketakutan yang mendalam. Kami tidak pernah lagi membicarakan detail malam itu, selain dengan tatapan mata yang saling memahami.

Namun, beberapa minggu setelah kepulangan kami, Maya menerima paket misterius. Isinya adalah sebuah boneka porselin tua yang persis sama dengan yang kami lihat di Rumah Usang itu. Boneka itu duduk di dalam kotak kayu.

Di dasar kotak, ada sebuah ukiran tulisan tangan yang tajam.

Dan di sebelahnya, sebuah kartu foto yang buram. Foto itu adalah jepretan terakhir yang sempat diambil Maya di kamar Ratih. Di latar depan, tampak boneka porselin itu duduk. Namun di latar belakang, tepat di belakang Maya yang sedang memegang kamera, bayangan samar seorang gadis kecil dengan rambut panjang sedang berdiri, memegang sehelai kain putih.

Hingga hari ini, boneka itu tersimpan di loteng rumah Maya, tidak berani disentuh. Dan setiap malam tertentu, kadang-kadang kami berempat masih bisa mendengar, dalam keheningan yang paling pekat, sebuah melodi piano yang dimainkan dengan sangat lambat, jauh, dan melankolis, seolah-olah permainan Ratih baru saja dimulai.

Hantar kisah anda : fiksyenshasha.com/submit

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.