Tiada siapa yang benar-benar mengenali malam, melainkan mereka yang pernah mendengar suara di balik gelap. Setiap bayang, setiap desiran angin, setiap bisikan yang menyusup ke ruang tidur semuanya menyimpan rahsia yang enggan didedahkan. Dan malam ini, rahsia itu memilih untuk menghampiri aku.
Namaku Aina. Seminggu sudah aku berpindah ke sebuah rumah sewa lama di pinggir pekan, sebuah rumah kayu dua tingkat yang dikelilingi semak dan pohon sena tua. Rumah ini sudah lama kosong sebelum aku diizinkan masuk, dan cerita orang kampung tentangnya selalu berakhir dengan bisikan atau gelak kecil konon ada suara perempuan menyanyi waktu malam, kadang-kadang suara itu kedengaran dari celah-celah pohon sena.
Pada malam pertama, aku menganggap semuanya hanya mitos. Lagipun, hidup sendirian di rantau orang, aku lebih takut pada manusia dari makhluk yang tak kelihatan. Namun malam itu, ketika jam hampir dua pagi, aku terdengar sesuatu yang langsung membunuh rasa berani suara nyanyian perlahan, senandung aneh yang samar dan sepi. Melodi yang tidak pernah aku dengar, namun iramanya seperti menekan dada.
“Malam berbisik di celah daun,
Bulan pucat merenung pilu.
Hati merintih menunggu tuan,
Di ambang dosa, syaitan menunggu.”
Aku diam, memerhati ke luar tingkap bilik. Pohon sena bergoyang, dedaunnya seperti menari mengikut rentak lagu. Aku menahan nafas, cuba meyakinkan diri itu cuma suara radio jiran. Tapi suara itu semakin jelas lembut, menggoda, tapi di hujung setiap bait, ada nada garau yang menggetarkan hati.
Malam-malam seterusnya, suara itu kembali, selalu pada waktu yang sama. Setiap kali aku cuba tidur, senandung itu masuk perlahan ke telinga, kadang-kadang disertai bau harum bunga kenanga bercampur asap kemenyan. Pada malam ketiga, suara itu berubah nyanyiannya diselang-seli dengan bisikan-bisikan aneh, menyebut namaku berulang kali.
“Aina… Aina… dengar lagu kami…”
Aku beranikan diri turun ke bawah, menyusuri anak tangga kayu yang berkeriuk setiap langkah. Di ruang tamu yang suram, aku lihat bayang sendiri terpantul di cermin dinding. Tiba-tiba, dari belakang, suara itu semakin dekat. Seolah-olah ia menyanyi hanya untuk aku seorang.
“Jika kau sudi mendengar,
Jangan lupa tinggalkan lampu.
Dalam gelap, kami menanti,
Dengan senandung syaitan,
Kami seru jiwa yang sunyi…”
Tengkukku meremang. Dalam hati aku terasa ada sesuatu yang memerhati, dari balik dinding, dari celah pintu yang tak rapat. Aku pusing ke belakang, kosong. Tapi dari ruang dapur, aku dengar gelak perlahan, suara wanita, tinggi dan nyaring, bersambut dengan suara lelaki yang parau. Suasana rumah tiba-tiba jadi sejuk, bulu roma berdiri sendiri.
Aku naik semula ke bilik, pintu segera dikunci. Malam itu aku tidur bertemankan lampu meja, tapi walau mata terpejam, lagu itu tetap bermain masuk dalam mimpi, menari-nari di ambang sedar dan lena. Dalam mimpi, aku berada di tengah hutan, di kelilingi pohon sena dan bayang-bayang hitam yang melengkung. Dari celah-celah pokok, keluar sosok perempuan bertudung labuh, wajahnya kabur, hanya mulutnya yang jelas tersenyum sambil menyanyi. Di kaki pohon, ada lelaki tua tanpa mata, duduk bersila, memalu gendang kecil mengiringi lagu itu.
Aku terjaga dengan peluh dingin membasahi dahi. Di luar, subuh belum tiba, tapi suara senandung itu masih samar-samar, kini bercampur bunyi tangisan. Aku menangis tanpa sedar, rasa takut yang menekan dada.
Pagi itu, aku ke kedai kopi kampung, cuba bertanya pada Mak Siti, jiran sebelah yang paling ramah. Dia hanya geleng kepala, suaranya perlahan, “Kalau dengar lagu malam-malam, tutup telinga, Aina. Rumah tu memang dah lama… orang dulu-dulu kata, ada yang pernah hilang lepas ikut suara menyanyi tu. Ada yang jumpa, ada yang tak pernah balik.”
Hari-hari berikutnya, gangguan makin menjadi-jadi. Senandung syaitan itu mula muncul di siang hari kadang-kadang ketika aku mandi, kadang-kadang waktu aku termenung di dapur. Ada hari, aku rasa seperti suara itu datang dari dalam diri sendiri, berputar di kepala, sukar diusir walau dengan doa. Kadang-kadang, aku terlihat bayang perempuan duduk di tangga, atau lelaki tua melintas di depan pintu dapur. Suara mereka seolah-olah ingin aku ikut, ingin aku menyanyi bersama.
“Di malam sunyi kami berseru,
Menjemput teman dari dunia lain.
Jika kau ikut suara syaitan,
Jangan harap dapat pulang…”
Aku tahu, ada sesuatu yang makin kuat dalam rumah ini, dan setiap malam yang berlalu, jiwa aku makin lemah untuk melawan. Malam-malam selepas ini… aku dapat rasakan, senandung itu bukan sekadar suara. Ia adalah jemputan. Jemputan yang tidak boleh ditolak, dan aku cuma mampu bertahan menunggu malam seterusnya, menunggu sambungan kisah Senandung Syaitan yang mungkin membawa aku ke hujung yang tak pernah terjangka…